Sekolah Gratis

Sekolah Gratis Bukan Mimpi

Finlandia pada awal musim semi, pertengahan September lalu. Udara mulai berkabut dan dingin hingga menusuk tulang. Namun, hal itu sama sekali tidak menghalangi para murid untuk datang dengan sepeda ke Torpparinmaki Comprehensive School di pinggiran ibu kota Helsinki.

Pagi itu saya diberi kesempatan oleh Kementerian Luar Negeri Finlandia untuk melihat proses belajar-mengajar di sekolah yang memberikan pendidikan dasar kelas I hingga IX. Bangunan sekolah itu tidak mewah. Bentuknya bahkan lebih mirip gudang atau gedung olahraga bulu tangkis. Namun, ini adalah salah satu sekolah yang—katanya—berkualitas tinggi di Finlandia.

Di sekolah ini tercatat 420 siswa yang terdiri dari 380 murid umum dan 40 murid yang perlu mendapat perlakuan khusus. "Murid khusus" ini adalah murid yang memiliki masalah sehingga perlu diberi perlakuan khusus. Ada yang sulit belajar atau stres karena orangtua bercerai.

Di Finlandia, kasus perceraian sangat tinggi, hampir 50 persen perkimpoian. Akibatnya, banyak anak-anak yang bermasalah di sana. Mereka inilah yang perlu mendapat perhatian khusus.

Para murid khusus ini biasanya ditangani oleh guru konseling. Jika kasusnya agak berat, mereka akan ditangani psikolog. Murid khusus yang sudah bisa mengatasi masalahnya akan bergabung lagi di kelas umum.

Sulit membedakan mana yang tergolong murid khusus dan mana yang bukan. Pasalnya, para murid khusus ini tidak dipisahkan dari murid lainnya ketika belajar. "Kami sengaja tidak memisahkan mereka untuk menghindari stigma negatif," ujar Sampsa Vuorio, seorang guru di sekolah itu.

Sekadar catatan, di sekolah itu terdapat 30 guru yang mengajar penuh dan 20 anggota staf sekolah. Di luar itu, ada beberapa relawan yang membantu proses belajar-mengajar di sekolah tersebut. Sebelum bergabung di sekolah itu, para guru harus melalui proses penyaringan yang sangat ketat. Hanya lulusan terbaik yang bisa menjadi guru. Kualitas guru memang menjadi faktor utama keberhasilan sistem pendidikan di Finlandia.

Suasana belajar di sekolah itu secara umum tampak berbeda dengan suasana belajar sekolah di Indonesia. Di Torpparinmaki, proses belajar-mengajar tidak dilakukan di kelas-kelas besar seperti di Indonesia. Murid tampak belajar di mana saja di hampir semua sudut sekolah. Murid kelas I hingga kelas IX bisa saja belajar di tempat yang sama dengan mata pelajaran berbeda-beda.

Di sebuah ruangan yang lebih mirip selasar, 10 murid dengan tekun belajar dengan menggunakan komputer. Ada yang belajar mengarang, matematika, desain, dan belajar bahasa Inggris, Swedia, atau Bahasa Jerman. Di aula ada beberapa anak yang belajar melukis.

Vuorio menjelaskan, sistem pendidikan di Finlandia memang disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Siswa yang tertinggal di mata pelajaran tertentu, misalnya, akan mendapatkan kelas ekstra. "Kami memberi ketentuan, untuk kelas VIII, misalnya, siswa harus memiliki kemampuan matematika hingga tingkat tertentu. Jika siswa membutuhkan, kami sediakan kelas ekstra," ujarnya.

Vuorio menjelaskan, hingga kelas IV siswa tidak diberi penilaian angka atau skor. Penilaian lebih bersifat kualitatif. Mulai kelas V, barulah murid diberi penilaian dengan skor. "Buat kami, angka tidak terlalu penting. Apalah arti angka V atau IX dalam sebuah tes. Yang penting bagi kami adalah siswa pada akhirnya menguasai materi pelajaran," kata Vuorio.

Untuk jangka waktu tertentu, guru akan mengevaluasi hasil pembelajaran di konferensi guru. Pada kesempatan ini, guru akan membahas kekurangan dan kelebihan metode belajar yang berlangsung di sekolah. Evaluasi ini tidak ada kaitannya dengan naik tidaknya siswa ke kelas lebih tinggi, sebab di Finlandia tidak ada siswa yang tinggal kelas.

"Kebijakan tidak menaikkan siswa itu kami anggap tidak baik. Ini akan mengganggu kepercayaan diri siswa," ujar Vuorio.

Pemerintah sendiri mengukur kualitas pendidikan dengan ujian nasional (UN). Namun, UN tidak digelar setiap tahun untuk setiap mata pelajaran. Tes bahasa Inggris, misalnya, hanya dilakukan di kelas V dan IX.

Ujian ini juga tidak diikuti oleh semua siswa. Pemerintah akan menentukan peserta dengan cara random di kelompok siswa cerdas, menengah, dan kurang. Hasil ujian ini digunakan untuk bahan evaluasi, bukan untuk menentukan kenaikan kelas atau kelulusan siswa seperti di Indonesia.

Siswa yang menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun kemudian meneruskan pendidikan ke sekolah menengah setingkat SMA. Setelah itu, siswa bisa mengikuti ujian masuk universitas atau politeknik.

sumber :www.kompas.com

0 Responses